Senja Yang Terbagi

    Oleh: Assajad Muhammad

    Lalu lalang kendaraan dan panasnya kota Surabaya menemani Sunaryo yang sedang ngopi di warkop Cak Ewok. Sudah menjadi rutinitasnya ketika akhir pekan menikmati secangkir kopi hitam racikan Cak Ewok yang nikmat. Sesekali ia menyesap rokok dan menyeruput kopinya yang menjadi paduan yang aduhai. Akhir-akhir ini Surabaya mengalami cuaca yang selalu tak bisa ditebak; kadang pagi hujan siangnya panas, dan tak jarang sebaliknya. Tapi nasib baik kali ini ia diberi cuaca yang mendukung untuk me time-nya.

"Gusti kulo mpun manut dalane Mung njenengan seng ngatur critane Seng jelas aku mikir kedepane Opo bakal hubungan satru sateruse

Tulung percoyo, aku sayang awakmu Buktine sampeyan nglirik liyane Sumpah ra koyok seng mbokpikir selama iki Mas isoku meneng, ngajeni awakmu"

Lagu Denny Caknan dan Happy Asmara dinyanyikan oleh dua anak kecil yang sedang mengamen. Dua bocah itu meminta upah atas upayanya bernyanyi kepada pelanggan warkop. Sunaryo merasa tertarik kepada dua bocah pengamen ini. Ketika dua bocah pengamen ini menghampirinya, ia langsung bertanya,

"Awakmu isok lagu opo ae?" tanya Sunaryo dalam bahasa Jawa yang artinya "Kamu bisa lagu apa saja?"

"Aku mek isok lagu satru tok, Cak," jawab si bocah pembawa ukulele, yang dalam bahasa Indonesia berarti, "Aku cuma bisa lagu Satru saja, Kak."

"Oalah, yaudah. Sini duduk dulu, minum dulu. Pesen saja ke Cak Ewoknya," ujar Sunaryo.

Lantas kedua bocah itu berlari kegirangan ke arah Cak Ewok untuk memesan minum. Setelah selesai memesan, dua bocah itu kembali lagi ke hadapan Sunaryo.

"Kamu umur berapa, Dek?" tanya Sunaryo setelah mereka duduk.

"Aku umur tiga belas tahun, Kak" jawab anak kecil yang membawa ukulele.

"Kalau kamu umurnya berapa?" tanya Sunaryo lagi.

"Sama, Kak, umurku tiga belas tahun," jawab kawannya.

Tak lama kemudian, minuman pesanan dua pengamen kecil ini datang. Bukan hanya sekali ia menemui dua pengamen kecil ini, karena setiap ia ngopi di warkop Cak Ewok, mereka tidak pernah absen untuk mengamen hanya baru kali ini saja dia mendapat momen untuk 'mewawancarai' mereka.

"Terus biasanya mulai dari jam berapa ngamennya?" tanya Sunaryo penasaran.

"Kami sih biasanya mulai dari sore, Kak. Dari jam empat sore, lalu aku dan temanku biasanya pulang jam sebelas malam," jawab si anak bertopi hitam.

"Lalu dalam sehari kalian bisa dapat berapa?" lanjut Sunaryo.

"Tidak menentu, Kak. Kadang dapat enam puluh ribu, kadang juga hanya dapat empat puluh ribu. Itu pun kami bagi hasil," ujar mereka.

Banyak pertanyaan di lubuk hati Sunaryo. Kemana orang tua mereka? Apakah orang tua mereka tahu anaknya menjadi pengamen? Bagaimana sekolahnya? Mengapa umur sekecil ini sudah mengamen? Begitu banyak hal yang berkecamuk dalam pikirannya ketika ia melihat dua pengamen kecil yang ada di hadapannya.

Angin sore menemani percakapan hangat mereka. Sambil sesekali Sunaryo menghisap rokok dan menyeruput kopi, ia tidak bosan terus menanyakan hal-hal yang tidak dialaminya saat masih seumur dengan dua anak kecil itu.

"Kak, aku boleh minta rokoknya?" pinta anak kecil yang memegang gitar itu.

"Kalian merokok juga?" tanya Sunaryo heran.

"Iya, Kak," jawabnya dengan polos.

"Sedari kapan kalian merokok?" tanya Sunaryo kaget.

"Sejak kami mulai mengamen."

"Ambillah rokoknya," ujar Sunaryo sambil menyodorkan sebatang rokok.

Betapa kagetnya ia ketika mengerti bahwa anak sekecil itu sudah merokok. Padahal ketika Sunaryo masih seumur mereka, ia masih sibuk dengan mainan dan pulang cepat agar tidak telat mengaji sore. Entahlah, mungkin tidak semua orang seberuntung masa kecilnya, pikir Sunaryo. Bisa jadi mereka terpaksa melakukan ini, karena anak kecil mana yang ingin bergelut dengan kerasnya hidup di jalanan?

Setelah Sunaryo banyak bertanya, ia mengetahui bahwa anak yang membawa ukulele itu bernama Ilham dan kawannya yang selalu bertopi bernama Rafi. Ilham sudah putus sekolah, sedangkan Rafi masih meneruskan sekolahnya di kelas 1 sekolah menengah pertama. Mereka beralasan mengamen sebagai sambilan untuk menambah uang jajan, karena uang jajan yang diberikan oleh orangtuanya tidak cukup. Menurut pengakuan mereka, kadang mereka diberi uang jajan hanya dua ribu rupiah dan paling banyak hanya sampai lima ribu rupiah saja.

Karena alasan kurangnya uang jajan, dua bocah ini rela menukar masa kecilnya dengan kerja keras. Di satu sisi Sunaryo merasa tak tega, di sisi lain ia merasa kagum. Tak teganya karena melihat nelangsa dua bocah ini, dan kagumnya karena terkadang mereka juga memberi uang hasil mengamen untuk diberikan kepada orang tuanya. Terkadang ia merasa iri kepada anak-anak yang sudah bisa memberi kepada orang tuanya, akan tetapi ia juga tahu jika ia bekerja saat masih seumur Ilham dan Rafi, keluarganya pasti akan menyebutnya gelandangan.

"Terus biasanya selain ngamen kalian ngapain saja?" tanya Sunaryo.

"Ga ada sih, Kak. Ya keseharian kita cuma ngamen. Kalau Rafi kan masih sekolah, jadi kalau pagi dia sekolah, sorenya aku dan Rafi berangkat ngamen," jawab Ilham.

"Lalu sekarang kalian sudah berapa tahun mengamen?"

"Sudah dua tahunan, Kak, kami mengamen," ucap Ilham sambil meminum es susunya.

"Kalian kok bisa sih berani merokok?" tanya Sunaryo yang kepalang penasaran.

"Biasalah, Kak, kami ini terbawa pergaulan," jawab Rafi. "Tak jarang juga kami mabuk jika ada hasil lebih," lanjut Rafi dengan polos.

Betapa kagetnya Sunaryo mendengar penuturan dua pengamen kecil ini. Yang Sunaryo lihat bukan raut malu, melainkan raut wajah yang bangga akan kenakalan yang telah mereka lakukan.

"Kalian sudah pernah minum miras?" tanya Sunaryo tak percaya.

"Aku tidak, Kak, hanya Ilham saja," bela Rafi karena ia takut terbawa-bawa jelek. "Aku tidak berani minum-minum, Kak, takut tidak bisa tinggi," lanjutnya lagi.

"Ham, Raf, kalian ini masih kecil. Jangan terlalu bebas ya dalam pergaulan. Jika sudah selesai mengamen, langsung saja pulang. Jangan keluyuran kemana-mana ya, kasihan orang tua kalian menunggu anaknya pulang. Dikurangin juga merokoknya, dan jangan pula lagi kamu, Ilham, minum-minum alkohol. Tidak baik," nasihat Sunaryo.

Sunaryo hanya mencoba memberi sedikit perhatiannya kepada dua bocah tersebut, yang mungkin tidak mereka dapatkan dari orang tuanya. Atau bahkan, orang tua mereka saja tidak tahu bahwa anaknya ini sudah pernah mencoba minuman keras. Sunaryo sangat kasihan sekali dengan Ilham dan Rafi. Ia hanya bisa berharap semoga orang-orang seperti mereka lebih diperhatikan oleh pemerintah daerah dan dijaga dengan lebih baik juga oleh orang tuanya. Karena memang banyak anak yang tumbuh tanpa bimbingan orang tua yang mengerti kondisi anaknya.

Senja mulai turun di Surabaya. Sunaryo menghabiskan kopinya yang sudah mendingin, lalu berpamitan pada Ilham dan Rafi. Ia memberikan sedikit uang kepada mereka, bukan untuk rokok atau minuman keras, tapi dengan harapan mereka akan menggunakannya untuk hal yang lebih baik. Sambil berjalan pulang, Sunaryo merenung. Ia bertanya-tanya, akankah ada perubahan untuk anak-anak seperti Ilham dan Rafi? Atau akankah mereka terus terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan pergaulan bebas? Dengan berat hati, Sunaryo menyadari bahwa permasalahan ini jauh lebih kompleks dari yang ia bayangkan, dan membutuhkan lebih dari sekadar nasihat singkat di warung kopi.

Komentar

Archive

Formulir Kontak

Kirim