Abu Zaid berkata "Teks Al-Qur'an Sebagai Produk Budaya"
Salah satu pemikiran yang paling kontroversi adalah pemikiran yang menyatakan bahwa al-Qur'an sebagai produk budaya yakni Nashr Hamid Abu Zaid. Abu Zaid merupakan seorang intelektual dan cendekiawan mesir yang memfokuskan perhatiannya pada al-Qur’an dan melahirkan karya-karyanya. Abu Zaid memiliki kegelisahan dalam memahami teks khususnya teks al-Qur'an. Dalam penafsiran klasik selalu digunakan dalam konteks kontemporer saat ini. Sehingga ada beberapa kasus penyimpangan yang merugikan beberapa pihak.
Misalkan poligami kini menurut Abu Zaid ada pihak yang dirugikan yaitu perempuan. Padahal yang sebenarnya al-Qur’an ini untuk siapapun dan al-Qur’an sebagai sumber islam rahmatilalamin. Tetapi jika ada beberapa pihak merasa dirugikan adanya penafsiran ini, maka menurut Abu Zaid ada sesuatu yang tidak alami dalam memahami teks agama. Di samping itu Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai khatam al-anbiya’ (penutup para Nabi). Karena tidak akan turun lagi kitab selanjutnya setelah al-Qur’an. Hal itu sangat logis dalam prinsip-prinsip universal al-Qur’an yaitu kitab ini sangat relevan setiap waktu dan tempat Shalil Kulli Zaman wa Makan. Bahwa asumsi ini al-Qur’an bukanlah kitab yang diturunkan hanya untuk orang-orang terdahulu di zaman Nabi, tetapi juga diperuntukkan bagi zaman sekarang dan zaman yang akan datang.
Dalam paradigma tafsir klasik, asumsi tersebut dipahami dengan cara “memaksakan” konteks apapun ke dalam teks al-Qur’an. Akibatnya, pemahaman yang muncul cenderung tekstualis dan literalis yang ada dalam al-Qur’an. Sehingga ayat-ayat secara tekstual dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman, karena sudah bersifat partikular (terbatas). Hal ini berbeda dengan paradigm tafsir kontemporer yang cenderung kontekstual dan bahkan liberal, sebagaimana Abu Zaid yang dikenal pemikiran yang liberal. Akan tetapi Abu Zaid berupaya mengkontekstualisasikan makna ayat tertentu dengan mengambil prinsip-prinsip dan ide universalnya. Dan berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan semangat zamannya. Abu Zaid juga menekankan bahwa tafsir tidak boleh dianggap sesuatu yang final, melainkan sebaliknya. Bahwa tafsir sebagai proses yang terus menerus dilakukan untuk mendialogkan atau menghidupkan teks al-Qur’an dengan realitas yang berkembang sesuai tuntutan zaman.
Abu Zaid menganggap Teks Al-Qur’an sebagai produk budaya. Dalam hal ini kita mencoba melakukan reformulasi ulang tafsir. Bahwa al-Qur’an memiliki dua dimensi:
1. Dimensi Metafisik,
dimana Al-Qur’an yang berada wilayah metafisik atau al-Qur’an yang ada di lahul
mahfudz disanalah letak kalamullah berada. Dimana wilayah ini manusia tidak
bisa mengakses kesana.
2. Dimensi Fisika, dimana manusia bisa berinteraksi dengan al-Qur’an, yaitu Allah SWT menurunkan ayat al-Qur’an secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril as, kemudian mensyiarkan kepada umatnya dengan bahasa arab. Karena Nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu Allah yang dimana ayat al-Qur’an turun berada di arab.
Dari dua dimensi tersebut, terlihat jelas bahwa ketika kita memahami al-Qur’an tidak cukup menggunakan pendekatan tradisional melainkan pendekatan hermeneutika dengan cara menekankan linguistik, ilmu-ilmu sosial atau sejarah. Karena ayat al-Qur’an turun pasti mengalami peristiwa historis. Biasa disebut asbabun nuzul. Dimana konteks ini selalu ada peradaban. Tidak mungkin, ada sebuah teks tanpa sebuah konteks itu menjadi pemahaman yang utuh, itu tidak bisa. Sehingga proses pemahaman ini harus berkaitan antara teks dan konteks. Sehingga Abu Zaid mengatakan ini berkaitan dengan konteks ayat al-Qur’an dalam menafsirkan tidak sebatas makna literal saja. Tapi makna kontekstual yang turun itu apa?. Jadi, kita harus memakai dengan konteks sesuai kondisi sosial masyarakat yaitu melalui ilmu-ilmu sosial, sejarah dan lain sebagainya.
Sehingga pemahaman terkait diatas. Bahwa al-Qur’an diturunkan di masa Nabi untuk merespon kondisi pada masa Nabi itu sendiri. Turunnya al-Qur’an inilah bahwa keberadaan teks itu ada terbentuknya konteks. Jadi, bukan berarti al-Qur’an itu benar-benar produk budaya, akan tetapi yang dimaksud Abu Zaid itu al-Qur’an yang sudah berada di wilayah fisika (al-Qur’an yang sudah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW) untuk merespon budaya setempat itu. Maka itulah al-Qur’an disebut sebagai produk budaya. Dia (al-Qur’an) penghasil kebudayaan, kerena interaksi teks dengan peradaban umat islam dari turunnya ayat di masa Nabi sampai masa sekarang membuat suatu peradaban. Maka al-Qur’an inilah membentuk sebuah peradaban baru. bukan berarti teks yang membangun peradaban itu sendiri, melainkan interaksi dialetika antara manusia dan teks dari segala realitas yang berperan penting dalam membentuk ekonomi, sosial, budaya, politik dan seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian, “teks” itu sebagai landasan untuk perkembangnya suatu zaman.
Jum'at, 21 April 2023 | Oleh: Siti Aidha
Komentar