Kisah Nabi Nuh AS dalam Al-Qur'an

Nama Nabi Nuh AS adalah Abdul Ghaffar atau Yasykur bin Lawak bin Matulsyalkha bin Idris AS. Dinamakan Nuh, menurut suatu pendapat adalah karena ia melihat anjing yang mempunyai empat mata lalu Nabi Nuh mengatakan: “Anjing itu sangat buruk, menjijikkan”.

Kemudian anjing itu berkata pada Nabi Nuh: “Wahai Abdul Ghaffar, engkau menghina ukiran ataukah yang mengukir? Jika hinaan itu kau utarakan pada ukiran, maka memang demikian adanya. Namun jika itu ditunjukkan padaku maka hinaan itu tidaklah layak, karena Ia maha berkehendak atas apa yang dikehendakinya”. Oleh karena kata-kata itu Abdul Ghaffar (Nabi Nuh) pun terus menangisi kesalahan dan dosanya. Maka dari hal itu lah dinamakanlah dia dengan sebutan “Nuh” (Menangis). 

Nabi Nuh AS adalah termasuk orang yang disebut dalam al-Qur’an sebagai hamba Allah yang dalam dirinya telah membudaya sifat syukur. Hal itu dinyatakan dalam firman Allah SWT Surat al-Isra’ ayat ketiga, yaitu:

ذُرِّيَةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوْحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُوْرًا

“(Yaitu) anak cucu dari orang-orang yang kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur” (Q.S. Al-Isra' [17]: 3).

Menurut Ibnu Abbas antara Adam dan Nuh 12 abad lamanya. Pada abad ke-12 sesudah Adam seluruh manusia sudah menyembah patung-patung, kemudian Allah mengutus Nuh untuk memperbaiki yang sudah rusak.

Nuh diutus menjadi Rasul berumur 480 tahun, wafat sampai berumur 500 tahun, dalam kurun waktu lima abad berhasil mendapatkan pengikut 70/80 orang saja, itu juga dari kelompok orang-orang miskin, Nabi Nuh juga termasuk golongan Nabi Ulul Azmi (sebuah gelar khusus bagi golongan Rasul pilihan yang mempunyai ketabahan yang luar biasa. 

Kedatangan Nabi Nuh AS sebagai Rasul berhadapan dengan suatu masyarakat yang berangsur-angsur melupakan ajaran agama. Beliau berada pada masa-masa “fatrah” kekosongan sebagai Nabi keempat sesudah Adam, Syith dan Idris, dan termasuk keturunan kesembilan Nabi Adam AS.

Kondisi masyarakat pada saat itu sangat miris yakni meniggalkan ajaran Nabi sebelumnya kemudian menjadi syirik, meninggalkan amal kebajikan, melakukan banyak kemungkaran dan kemaksiatan dan mempercayai berhala-berhala memiliki kekuatan ghaib dan dianggap sebagai tuhan yang mampu menolong mereka. Mereka menyembah waad, suwaa, yaghuts, ya’n dan nasr.

Hal ini telah termaktub dalam al-Qur’an surat Nuh ayat 23 yang berbunyi:

وَقَالُوْا لَاتَذَرُنَّ ءَاِلَهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوْثَ وَيَعُوْقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggakan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr”. (Q.S. Nuh [71]: 23).

Maksud dari ayat tersebut ialah bahwasannya para pembesar kaum Nabi Nuh AS memerintahkan para pengikut mereka untuk berpegang teguh pada tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah SWT. Kejadian tersebut adalah awal terjadinya penyembahan berhala, setelah mereka (orang saleh) meninggal para pengikutnya berkata: “Andaikata kita membuat gambar mereka, pastilah kita lebih nikmat beribadah kepada Allah”.

Maka, tatkala mereka meninggal dan datang generasi selanjutnya, Iblis memberitahukan dengan kebohongannya bahwa nenek moyang mereka menyembah patung orang-orang saleh itu, maka mereka pun menyembahnya. Di antara patung yang paling masyhur adalah wudd, suwa’, ya’uuq, dan nasr. 

Nabi Nuh menyeru kaumnya yang syirik tersebut untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan sesembahan yang berupa berhala. Nabi Nuh mengeluarkan segenap daya upayanya dan semua sebab-sebab yang memungkinkan untuk meyakinkan mereka. Namun, tidak ada yang dia dapatkan kecuali hambatan dan kekufuran. Bahkan, tidaklah beriman di antara mereka kecuali dalam jumlah yang sangat sedikit. Padahal, Nuh tinggal bersama mereka selama 950 tahun lamanya. Allah berfirman dalam surat al-A’raf ayat 59:

لَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوْا اللهَ مَالَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيْمٍ

“Sesungguhnya kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu berkata: wahai kaumku, sembahlah Allah sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain Dia. Sesungguhya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu ditimpa azab hari yang besar bagimu (kiamat).” (Q.S. Al-A'raf [7]: 59).

Setelah Nabi Nuh menyeru agar kaumnya menyembah hanya kepada Alah SWT dan mendapatkan respon pembangkangan dari kaumnya, lalu Nabi Nuh diperintahkan oleh Allah untuk membuat bahtera yang termuat dalam al-Qur’an sebagai berikut:

وَاُوْحِىَ إِلَى نُوْحٍ أَنَّهُ لَنْ يُؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ إِلَّا مَنْ قَدْ ءَامَنَ فَلَا تَبْتَئِسْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ (۳٦) وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلَا تُخَطِبْنِى فِي الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ (۳٧)

“Dan diwahyukan kepada Nuh bahwasannya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan. Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu kami dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang dzalim itu, sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan”. (Q.S. Hud [11]: 36-37). 

Ayat di atas adalah sebagai penghibur hati Nabi Nuh atas apa yang diperbuat oleh kaumnya dan ayat itu merupakan dorongan bagi Nabi Nuh dalam menghadapi kaumnya. Selain itu dalam ayat 37 di atas menjelaskan ketika Nabi Nuh merasa putus asa untuk menyeru kaumnya dan melihat tidak adanya kebaikan pada diri mereka. Maka Nabi Nuh mendoakan keburukan bagi mereka, yaitu doa yang dipanjatkan karena kemarahan sehingga Allah pun mengabulkan doa dan permintaannya.

Allah SWT memerintahkan Nabi Nuh AS untuk membuat perahu/bahtera dalam ukuran besar yang belum pernah ada sebelumya dan tidak akan pernah ada sesudahnya. Allah memberitahukan Nabi Nuh AS jika telah datang perintahnya dan adzabnya pun telah menimpa kaumnya, maka sekali-kali tidak akan menarik atau mengembalikannya. 

Setelah perahu sudah dibuat oleh Nabi Nuh kemudian beliau naik  bersama orang-orang yang beriman atas perintah Allah, dan selamatlah kaum Nabi Nuh dari azab Allah SWT berupa banjir bandang yang menenggelamkan orang-orang yang zalim dan tidak beriman kepada Allah SWT. Hal ini termuat di dalam al-Qur’an sebagai berikut:

فَكَذَّبُوْهُ فَأَنْجَيْنَاهُ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ فِي الْفُلْكِ وَأَغْرَقْنَا الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِئَايَتِنَا إِنَّهُمْ كَانُوْا قَوْمًا عَمِيْنَ

“Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya dalam bahtera dan kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).” (QS. Al-A’raf [7]: 64). 

Setelah tenggelamnya penghuni bumi kecuali hamba-hamba Allah dan makhluknya yang berada dalam bahtera Nabi Nuh, turunlah perintah Allah kepada bumi agar menelan airnya yang dipancarkan dan kepada hujan agar menghentikan curahan airnya. Ini menunjukkan kekuasaan Allah sehingga hanya Allah yang patut disembah.

Hikmah yang dapat diperoleh dari kisah tersebut adalah bahwasanya takwa kepada Allah SWT merupakan sebagian sebab untuk memperoleh dunia, keturunan yang banyak, rezeki dan kekuatan fisik, meskipun untuk itu semua mesti ada sebab yang lain. Ketakwaan ini justru merupakan sebab satu-satunya untuk memperoleh kebaikan dunia dan akhirat serta keselamatan dari siksanya.

Keselamatan dari siksa dunia secara umum hanyalah untuk orang-orang yang beriman, yaitu para rasul dan para pengikut mereka. Karena siksa dunia ini hanya khusus akan dialami oleh orang-orang yang durhaka dan yang mengikuti mereka dari anak cucu mereka, juga hewan-hewan meskipun mereka tidak mempunyai dosa. Karena sesungguhnya bencana yang Allah SWT timpakan kepada berbagai golongan orang yang dusta itu meliputi anak-anak dan ternak-ternak yang ada. Wallahu A'lam.

Minggu, 28 November 2021 | Oleh: Abd Hamid Majid

Komentar

Archive

Formulir Kontak

Kirim