CERPEN: Penyesalan

Oleh: Luluk Faizah

Cerpen. Malam semakin larut, hembusan angin dingin musim kemarau marasuk kedalam pori-pori menembus sampai tulang. Dingin yang terlalu menyiksa bagiku dapat kudengar dengan jelas suara para hewan malam yang sedang memainkan music orkestra mereka.

Sahut menyahut menyerbu telinga seolah ingin memberitahukan sesuatu padaku. Namun semua itu tidak membuat para penghuni asrama bangun  dari buaian mimpi mereka, yang menghapus berlahan keletihan setelah  menjalani  rutinitas pesantren yang begitu padat. Semakin lama semakin dapat kurasakan kedua mata  yang  terlalu letih untuk kupaksa tetap terbuka. Kutengok jam dinding yang berada tepat di atasku 02:00 istiwak, memang sudah sangat larut, berarti sudah lebih tiga jam aku berkutat dengan  tumpukan kertas-kertas ini. Untung ruang kantor  punya sakelar sendiri jadi  tidak ikut padam pukul 11.00 tadi.

Ah... Aku lupa belum memperkenalkan diriku. Namaku Khoirunnisa’, teman-temanku biasa memanggilku kepala batu, ya karena memang watak sedikit keras kepala. Sebenarnya aku bukan dewan pengurus atau petugas kantor lainya, aku hanya santri biasa yang  kebetulan punya  kemampuan lebih, jadi aku diperintahkan untuk sementara waktu menghendel tugas-tugas mbak ulya PIMRED  mading SIRSAIBA yang harus pulang karna kakaknya nikahan. Tak kukira akan serumit ini, tapi gak papa hitung-hitung khidmah hehe..

Kertas-kertas yang terkumpul dari kiriman teman-teman santriyat kurapikan dan kupilah sesuai kategori yang telah ditentukan, OPINI, HUMOR, KHAZANAH, KALIGRAFI, berarti tinggal kolom SASTRA yang belum terisi,a da banyak sekali kiriman sastra masuk 1, 2, 3, 4, oh…? Kertas puisi  warna biru? Kiriman dari Ajeng, judulnya “PERSAHABATAN”.

Ajeng, dia adalah teman sekamar juga seangkatan diniyah denganku. Semuanya kita lakukan bersama-sama bagaikan pinang  di belah dua, karena kita adalah sahabat baik dimana ada dia di situ  pasti ada aku.

Ahh… Jadi ingat peristiwa satu bulan yang lalu  kami bertengkar  hanya  karena persoalan cinta. Pesantren kami masih belum lama berdiri dan tempatnya pun masih di pelosok desa jadi ketika sekolah santri putri dan putra masih gabung, dari 5 tahun yang lalu aku mengagumi salah satu santri putra yang menjadi idola hampir semua santri putri, semua santri putri pasti mengenal FATHAN selain cerdas dan wajahnya yang tampan dia juga terkenal akan kewibawaanya dalam memimpin beberapa organisasi yang ada di pesantren kami, di tambah lagi dengan suaranya yang  indah bak syakir daulay, tak heran jika namanya terkenal di kalangan santri putri, dan Ajeng adalah orang yang berhasil mendekatkan aku dan Fathan tapi akhir-akhir ini kedekatan mereka semakin akrab, isu-isu pun beredar banyak orang mengatakan bahwa mereka sudah resmi pacaran, orang-orang yang iri dengan persahabatan kami mengambil posisi untuk mengompori aku, sungguh saat itu aku sangat marah dan kecewa pada Ajeng semua alasan dan kata maaf darinya sudah tidak pernah aku pedulikan lagi, aku berfikir dia adalah sahabat munafik yang tega menusuk sahabatnya sendiri. Aku sampai tega berkata kasar padanya dan kami nyaris berkelahi kalau saja tidak segera di lerai oleh mbak Nafis.

Sejak saat itu kami saling diam, persahabatan kami yang hampir berjalan 6 tahun menjadi ternodai. Aku merasa sangat naïf, tidak seharusnya aku begini bukankah cinta adalah fithrah bagi setiap orang dan jodoh sudah ada yang mengatur  mengapa aku mesti memaksakan kehendaku, mengapa aku jadi egois bukankah tanpa Ajeng aku  juga tidak akan  dekat dengan fathan, mungkin sudah saatnya aku merelakan Fathan untuk ajeng, meskipun sedikit sakit tapi jika di hitung-hitung Ajeng lebih banyak berkorban untuk kebahagiaanku sudah saatnya aku juga berkorban untuknya.

Ajeng sudah pulang 3 hari ini, dia izin 4 hari kata mbak Nafis gadis itu hanya sakit panas biasa jadi kemungkinan besok dia sudah kembali ke pondok, aku yakin dia akan pulang dengan membawa sebuah kado istimewa untuku, sebab di hari ulang tahunku sebelumnya dia selalu memberi aku kejutan-kejutan kecil yang membuatku bahagia.

Tiba-tiba dari arah luar terdengar suara langkah  kaki yang berlari tergesa-gesa, lamunanku pecah. Ada apa ya?.. Sekilas terlihat Alfi berlari kearah kamar pengurus yang berjarak 5 kamar dari kantor yang kutempati ini. Karena penasaran aku pun keluar dan mengikutinya dari  jarak agak jauh. Alfi masuk kedalam kamar, aku mengintip dibalik pintu. Kulihat gadis itu sedang berusaha membangunkan ustadzah Fitri roisah pondok putri.

“Hmm… Ada apa to Fi?... Shubuhkan masih lama …?” Tanya ustadzh Fitri dengan mata terpejam.sepertinya beliau belum benar-benar bangun.
“Ayo…bangun ustdzah, cepet bangun…” paksa Alfi sambil menarik tangan ustdzah Fitri. Kulihat ada yang aneh dengan wajah Alfi, dia nampak panik tapi karna apa ya?
“Iya.. iya…”berlahan ustadzah Fitri bangkit dari tidurnya sambil menguap beberapa kali bertanda bahwa beliau masih sangat ngantuk, “Ada apa …kok membangunkan selarut begini ?”
“Itu ustdzah…di luar ada keluarga Ajeng yang datang” nada suara Alfi terdengar semakin aneh, keluarga Ajeng? Memangnya ada apa dengan Ajeng apa dia mau di sowankan boyong karna tidak tahan dengan sikapku? atau sakitnya tambah parah hingga tidak jadi balik besok? Tapi kenapa? Mengapa pula selarut ini lama-lamA perasaanku semakin tak enak.

“Nafas dulu Fi suaramu gak teratur banget….”
“Ajeng … ustdazah Ajeng…” tiba-tiba Alfi menangis sesenggukan. Aku  jadi semakin bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia pakai menangis? Kalau memang Ajeng mau boyong Alfi tidak perlu nangis sesenggukan beginikan, toh dia juga tidak terlalu dekat dengan Ajeng.
“Ehh… Kok malah nangis, jangan bikin mbak takut dong Fi”
“Ajeng ustdzah.. Ajeng”
“Iya ada apa dengan Ajeng?”
“Ajeng…. Ajeng …. meninggal ustadzah”
“Innalilahi wa inna ilahi rojiun, kamu gak salah Fi?” Jerit ustdzah Fitri kaget, aku pun luar biasa panik tak mungkin Ajeng meninggal hanya karna sakit panas biasa besok dia pasti akan balik untuk memberiku kejutan.
“Tidak ustdazah ini sungguhan … Ajeng sudah gak ada”

Aku segera lari dari sana aku yakin Alfi pasti salah paham,ingin marah rasanya, ini sama sekali tidak lucu,mataku menghangat aku mulai menangis! Ajeng tidak meninggal, dia besok akan kembali, dan kami akan saling memaafkan dan berpelukan, lalu kami akan becanda ria seperti biasanya.

Tapi aku melihat ada dua bapak-bapak berdiri disamping pintu ndalem. Aku semakin takut aku berlari kekamar atas… Ada mbk Shofi dan mbak Nafis yang sudah berpakaian rapi, mata mereka memerah, mereka habis menangis!! Aku berdiri mematung di depan pintu kamar 16.

“Nis kamu kok belum siap-siap” Tanya mbk Nafis aku hanya diam tak menjawab. “Nisa… Ayo cepet ganti baju…” Aku menunggu. “Nisa, Ajeng udah gak ada..”
“Tidak mungkin!... Ajeng ….” Aku sudah terisak! Tanpa aku sadari kedua pipiku sudah basah aku tetap berontak... Aku segera berlari ke gedung diniyah tak kupedulikan lagi mbak nafis dan mbak Shofi yang berteriak memanggil namaku. Pintu kukunci, kudekap kedua lututku kuat-kuat,kutahan suara tangisku yang seakan mau meledak.aku telah benar-benar terisak ajeng telah tiada?... Sahabat pertamaku di pesantren ini telah pergi untuk selama-lamanya aku sudah tidak akan bisa bertemu dengannya lagi?...

Air mataku sama sekali tidak bisa kubendung lagi.untuk kesekian kalinya kulihat coretanku beberapa minggu yang lalu di satir diniyah…
“AKU BENCI AJENG…AKU BENCI AJENG… AKU TIDAK INGIN MELIHAT AJENG LAGI!!!!!!!...”

Mendung gelap bergelayut angkuh di langit menutupi sang surya yang seharusnya menemani kepergian ajeng hari ini. Ahh… Benar-benar suasana yang tak pernah kuharapkan.disepanjang perjalanan tak sekalipun angin pagi berhembus menerpa mobil kami seolah ikut termangu,bersedih atas perpisahan ini,meratapi kepergian yang membuat sesak dada. Dan untuk kesekian kalinya mataku kembali menghangat setelah semalam kupakai terisak sendirian menyesali semuanya.

Akhirnya iring-iringan mobil kami sampai di rumah duka, sedangkan ustadzah Fitri, mbk Nafis dan beberapa teman lainya sudah disana dari sejak tadi malam. Tubuhku bergetar demi melihat para pentakziah yang didalam maupun di luar rumah ajeng. Ada banyak sekali orang-orang yang mencintainya, semuanya sama mendoakan dan mengucapkan selamat jalan pada ajeng yang akan pergi untuk selama-lamanya tujuanya sama dengan kami.

Aku pun sangat mengerti kalau ajal telah tiba tidak ada satu orangpun yang dapat menolaknya.namun kepergian ajeng ini sangat berat kurasakan. ada banyak hal yang membuatku menyesali dan meratapi setiap hal yang pernah aku lakukan kepadanya.tanpa kusadari mataku mulai kembali meneteskan air mata. Sudah kuseka namun tetap saja terus mengalir membasahi seluruh wajahku.

Niswatin dan laili menggandeng tanganku dengan erat.dapat kudengar suara keduanya yang sedang menahan isak tangis yang hampir pecah. Berlahan-lahan kami berjalan menuju rumah duka. Abah dan ibu sudah lebih dulu masuk.beberapa orang memberikan jalan untuk rombongan kami yang terdiri dari 30 santriyat teman seangkatan dan sekamar dengan ajeng di pesantren.ibunya ajeng Nampak sangat terpukul dengan kepergian putri bungsunya. Beliau berkali-kali pingsan.matanya memerah dan bengkak karna terus menerus di pakai untuk menangis.beberapa ibu-ibu berusaha menghiburnya.

Tak selang lama abah keluar dan ibunyai beranjak mendekati ibunya ajeng dan ikut menghibur. Setelah bergantian bersalaman dengan seluruh orang yang ada di dalam ruangan itu, berlahan dengan di temani niswatin dan laili aku berjalan ke arah sudut ruangan tempat tubuh ajeng di baringkan.

Ajeng sahabat kami yang selalau riang itu kini hanya berbaring diam dengan terselimuti kain putih bersih. Beberapa wanita yang mungkin kakak-kakak ipar Ajeng bersimpuh di samping  ajeng sambil membaca surat yasin dengan suara pelan. Dengan masih berlinang air mata, dengan tangan bergetar kusibakkan kain yang menutup wajah ajeng untuk terakhir kalinya. Ia masih tampak cantik. Wajahnya sejuk dengan senyum ketenangan yang tersungging  manis di bibirnya. Kucium keningnya untuk terakhir kalinya, ada aroma harum yang kuhirup.

“Selamat jalan sahabat. engkau telah pergi untuk bertemu dengan kekasihmu yang sering kau sebut-sebut dalam setiap doa-doamu.kami akan sangat merindukanmu.kau tau ajeng, aku sangat berharap kau bisa hadir di hari istimewaku ini dengan kejutan-kejutan yang biasa kau berikan,ternyata inilah kejutan itu! Ajeng ada banyak sekali yang ingin kusampaikan padamu tentang maafku yang belum sempatku katakan ketika kita masih bersama-sama…” Bisiku dengan suara yang telah tenggelam dalam isak tangis yang tertahan. Niswatin dan Laili memeluku erat di antara derai air mata mereka.

Tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku  dengan rasa malas aku menoleh 90 drajat.

“Oh may good, tuhan semesta alam mengapa Fathan ada di sini, apa yang harus kulakukan ??” batinku
“Nis ada yang ingin ku sampaikan ke kamu” kata Fathan
“Owh… Ya udah ayo keluar!!” Balasku
“Aku rasa tidak perlu di luar rame, aku cuma mau memberikan ini” Menyodorkan kotak kecil yang telah terbungkus rapi “Ini titipan dari Ajeng, dia menitip ini untukmu satu minggu yang lalu sebelum dia pulang”
“Maaf kan aku fat”  Tuturku
“Gak nyangka ya ternyata kamu orangnya kaya gini, kamu lebih percaya orang lain di banding sahabatmu sendiri yang setiap hari bersamamu,masih belum fahamkah kamu dengan karakternya”, aku  hanya terdiam bahkan untuk melihat wajahnya pu aku tak mampu
“Sebenarnya dari satu bulan yang lalu aku dan Ajeng berencana ingin membuat surprise di hari ulang tahunmu ini,sekaligus dia menyusun strategi untuku mendatangi orangtuamu setelah UN usai nanti, tapi  sepertinya itu tidak akan terjadi” Tambahnya fathan

Rasanya jantungku berhenti berdetag, semua kata-kata yang keluar dari mulut fathan bagaikan petir yang menyambar seluruh otot-otot syarafku sehingga membuat mereka berhenti berfunfsi,ini adalah sebuah kenyataan pahit yang tak pernah terpikir oleh benakku,aku tak tau kata-kata apa yang harus kuucabkan mulutku serasa terkunci dan tiba-tiba mataku berkunang kesadaranku pun menghilang.
Penyesalan hanyalah penyesalan, yang tak mungkin ku ulang apalagi di perbaiki.

Komentar

Archive

Formulir Kontak

Kirim